17 March 2024
4 menit baca

Pajak Progresif: Pengertian, Contoh, Cara Menghitungnya

4 menit baca

Pajak Progresif

 

Pajak progresif merupakan salah satu jenis pajak yang dikenal karena tarifnya yang naik seiring dengan meningkatnya penghasilan atau kepemilikan kendaraan bermotor. Dalam konteks pajak di Indonesia, pajak progresif umumnya diterapkan pada Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Kendaraan Bermotor. Dalam artikel ini, akan dibahas pengertian, contoh, serta cara menghitung pajak progresif untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai sistem perpajakan progresif.

 

Apa itu Pajak Progresif?

 

Pajak progresif adalah jenis tarif pajak yang meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah dasar pajak. Contoh umumnya adalah Pajak Penghasilan (PPh). Ketika penghasilan seseorang masuk ke dalam kategori yang kena pajak, misalnya lebih dari Rp50 juta dalam satu tahun, tarif PPh progresif akan diterapkan. Ini berarti pajak tidak hanya dipotong dengan tarif PPh terendah, tetapi juga terkena tarif pada lapisan-lapisan PPh yang lebih tinggi.

 

Selain itu, pajak progresif juga diterapkan pada kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya. Misalnya, untuk kendaraan bermotor yang didaftarkan atas nama yang sama, alamat yang sama, dan jenis kendaraan yang sama. Jika seseorang memiliki dua sepeda motor atas nama yang sama, maka keduanya akan dikenakan tarif pajak progresif untuk sepeda motor. 

 

Begitu pula jika dalam satu keluarga terdapat 3-4 unit sepeda motor, meskipun kepemilikannya atas nama yang berbeda, tetapi masih dalam satu Kartu Keluarga (KK) atau alamat yang sama, maka sepeda motor kedua-hingga keempat akan dikenakan tarif progresif untuk sepeda motor dan mobil.

 

Namun, jika seseorang memiliki satu sepeda motor dan satu mobil, meskipun atas nama dan alamat yang sama, selama kendaraan tersebut adalah kendaraan pertama, maka kendaraan tersebut dianggap sebagai kepemilikan pertama dan tidak dikenakan tarif progresif. Adapun kendaraan seperti TNI/Polri, angkutan umum, ambulans, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran, kendaraan pemerintah pusat dan daerah, serta lembaga sosial dan keagamaan tidak terkena tarif pajak progresif.

 

Baca Juga: Cara Menghitung Pajak Penghasilan (PPh) & Simulasinya

 

Dasar Hukum Pajak Progresif

 

Dasar hukum untuk penerapan pajak progresif di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). 

 

Dalam undang-undang tersebut, diatur bahwa tarif pajak kendaraan bermotor dapat diterapkan secara progresif untuk kendaraan kedua dan seterusnya guna mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan. Hal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif pajak progresif berdasarkan jumlah kendaraan yang dimiliki.

 

Pajak progresif untuk kendaraan kedua dan seterusnya dibagi menjadi tiga kategori:

 

  1. Kendaraan roda kurang dari empat.
  2. Kendaraan roda empat.
  3. Kendaraan roda lebih dari empat.

 

Penerapan pajak progresif pada kendaraan bermotor diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan:

 

“Kebijakan tarif pajak kendaraan bermotor juga diarahkan untuk mengurangi tingkat kemacetan di daerah perkotaan dengan memberikan kewenangan daerah untuk menerapkan tarif pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya.”

 

Baca Juga: Apa Itu Pajak Pertambahan Nilai (PPN)?

 

Tarif Pajak Progresif

 

Tarif pajak progresif untuk kendaraan bermotor diatur dalam pasal 6 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, yaitu:

 

  1. Tarif pajak kepemilikan kendaraan bermotor pertama, terendah 1% dan tertinggi 2%.
  2. Tarif pajak kepemilikan kendaraan bermotor kedua dan seterusnya, paling rendah 2% dan paling tinggi 10%. Tarif ini berlaku untuk mobil dan sepeda motor.

 

Contoh Tarif Pajak Progresif

 

Tarif pajak progresif untuk kendaraan bermotor dapat berbeda-beda setiap daerah. Misalnya, tarif yang berlaku di DKI Jakarta dan Jawa Barat akan berbeda.

 

Di DKI Jakarta, contoh tarif progresif pajak kendaraan bermotor adalah sebagai berikut:

 

  • Kendaraan pertama = 2%
  • Kendaraan kedua = 2,5%
  • Kendaraan ketiga = 3%
  • Kendaraan keempat = 3,5%
  • Kendaraan kelima = 4%
  • Kendaraan keenam = 4,5%
  • Kendaraan ketujuh = 5%
  • Kendaraan kedelapan = 5,5%
  • Kendaraan kesembilan = 6%
  • Kendaraan kesepuluh = 6,5%
  • Kendaraan kesebelas = 7%
  • Kendaraan kedua belas = 7,5%
  • Kendaraan ketiga belas = 8%
  • Kendaraan keempat belas = 8,5%
  • Kendaraan kelima belas = 9%
  • Kendaraan keenam belas = 9,5%
  • Kendaraan ketujuh belas = 10%

 

Sedangkan di Jawa Barat, tarifnya adalah:

 

  • Kendaraan pertama = 1,75%
  • Kendaraan kedua = 2,25%
  • Kendaraan ketiga = 2,75%
  • Kendaraan keempat = 3,25%
  • Kendaraan kelima dan seterusnya = 3,75%

 

Baca Juga: Opportunity Cost: Pengertian, Contoh, dan Cara Menghitungnya

 

Cara Menghitung Pajak Progresif

 

Misalkan Anda memiliki 2 mobil dengan merek yang sama, dibeli pada tahun yang sama di wilayah DKI Jakarta. Dalam Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) di STNK tertulis sebesar Rp3.000.000. Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) sebesar Rp155.000.

 

Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB): Hitung NJKB dengan rumus (Rp3.000.000 : 2) x 100 = Rp150.000.000

 

Pajak untuk Mobil Pertama:

 

PKB = Rp150.000.000 x 2% = Rp3.000.000

SWDKLLJ = Rp155.000

Total Pajak = Rp3.000.000 + Rp155.000 = Rp3.155.000

 

Pajak untuk Mobil Kedua:

 

PKB = Rp150.000.000 x 2,5% = Rp3.750.000

SWDKLLJ = Rp155.000

Total Pajak = Rp3.750.000 + Rp155.000 = Rp3.905.000

 

Dengan demikian, total pajak yang harus dibayar untuk kedua mobil adalah Rp3.155.000 + Rp3.905.000 = Rp7.060.000.

 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak progresif merupakan jenis tarif pajak yang naik seiring dengan meningkatnya penghasilan atau kepemilikan suatu barang, seperti kendaraan bermotor. Dengan penerapan pajak progresif, diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara.

 

Baca Juga: PB1 (Pajak Restoran): Panduan Lengkap dan Cara Menghitungnya

 

Awas Investasi Bodong! Investasi #TransparanBikinAman Hanya di Bizhare

 

Seiring makin banyaknya kasus investasi bodong di Indonesia, Bizhare, platform securities crowdfunding nomor 1 di Indonesia berkomitmen untuk menjunjung asas transparansi dan keamanan secara end-to-end.

 

Melalui Bizhare, Anda dapat berinvestasi dalam proyek-proyek properti yang menjanjikan dengan lebih percaya diri. Dukungan dari Bizhare dalam menerapkan tips-tips aman bertransaksi online, seperti menggunakan sistem pembayaran yang aman dan memeriksa track record bisnis, berhasil memberikan kepastian bahwa investasi Anda dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar dan dijamin terhindar dari risiko penipuan.

 

Secara rutin, Bizhare juga melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap bisnis-bisnis tersebut secara berkala. Laporan keuangan tiap bisnis juga selalu diterbitkan tiap bulan agar bisa dipantau oleh para investor.

 

Hal ini merupakan komitmen Bizhare agar para investor, baik lama maupun baru, bisa terus berinvestasi di Bizhare, karena seperti slogan andalannya, #TransparanBikinAman.

 

Tak heran, berkat konsistensi Bizhare dalam menjunjung transparansi dan keamanan berinvestasi, Bizhare berhasil mendapatkan izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan nomor SK: 38/D.04/2021 sebagai Penyelenggara Securities Crowdfunding. Artinya, Bizhare beroperasi sesuai dengan standar dan regulasi yang ketat.

 

Bizhare juga sudah mendapatkan Sertifikasi ISO/IEC 27001:2013 dari Société Générale de Surveillance (SGS), auditor independen yang terdaftar resmi di Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. Dengan demikian, Bizhare memastikan bahwa data investor aman dan tidak akan bocor. 

 

Untuk informasi lebih lengkap mengenai #TransparanBikinAman, silakan tekan button di bawah ini.

 

#TransparanBikinAman Sekarang

124 Reads
Author: Diptyarsa Janardana
28 Suka